Sabtu, 21 November 2009

first

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah
Jumlah waria mungkin tidak terlalu banyak. Namun di Kota Malang, tepatnya setiap malam selalu terkumpul beberapa waria pada suatu tempat. Di Stadion Gajayana misalnya, selalu terdapat pemandangan yang selalu menjadi pro dan kontra dari berbagai kalangan. Karena perkumpulan itu lebih seringnya dijadikan sebagai tempat prostitusi dengan berbagai alasan.
IWAMA merupakan salah satu organisasi waria tertua yang berdiri di Kota Malang, sebelum kemudian melahirkan pecahan organisasi waria yang lain yakni WAMARAPA.
Organisasi IWAMA ini pertama kali didirikan pada tahun 1990, yang pada saat itu diprakarsai oleh ketiga waria senior Kota Malang yakni Farah, Lavanda, dan Windi. Tujuan didirikan organisasi ini pada waktu itu adalah untuk menampung komunitas waria yang tersebar di Kota Malang ke dalam satu wadah yang resmi. Serta memberdayakan para anggotanya dengan berbagai ketrampilan yang dapat melatih kemandirian anggotanya. Seiring dengan berjalannya waktu, semua itu kemudian ditujukan keluar dari stereotip yang ada serta untuk mengangkat harkat dan martabat waria di mata masyarakat Kota Malang.
Hingga kini telah terjadi 13 kali pergantian kepemimpinan dalam organisasi dan selama 9 tahun terakhir ini organisasi IWAMA dipimpin oleh Merlyn Sopjan. Merlyn berupaya keras memperkenalkan potensi para anggotanya ke masyarakat melalui berbagai kegiatan positif, yakni melakukan kegiatan-kegiatan sosial, menjalin hubungan yang baik dengan aparatur pemerintah, dan lain sebagainya. Seperti yang diungkapkan oleh waria berikut: “tadi aku habis sholat jum’at, karena aku kalau dirumah penampilanku ya seperti laki-laki biasa, habisnya orangtuaku gak ngebolehin aku untuk berpenampilan seperti ini”.
Waria adalah seorang laki-laki yang memiliki sisi kepribadian, cara berpakaian, pola hidup, tingkah laku dan punya keinginan-keinginan selayaknya wanita. Waria seringkali dikatakan sebagai sampah masyarakat karena banyak waria yang menggantungkan hidupnya melalui kegiatan prostitusi. Waria memerlukan pembinaan dan pelatihan agar mereka memiliki keterampilan dan moral yang baik agar dapat berkarya dalam masyarakat.
“Aku diciptakan sebagai laki-laki, tapi aku merasa eksistensi kehadiranku adalah perempuan. Orang-orang memanggilku banci atau bencong atau waria. Aku tak pernah protes pada Tuhan, aku hanya geram atas ketidakadilan dan klaim nista yang selalu ditimpakan masyarakat kepadaku”.
Seorang penderita transeksualisme secara psikis merasa dirinya tidak cocok dengan alat kelamin fisiknya, sehingga mereka seringkali memakai atribut lain dari jenis kelamin yang lain, jika laki-laki ia memakai pakaian perempuan, namun jika perempuan ia memakai pakaian laki-laki. Tapi transeksualisme lebih banyak dialami oleh kaum laki-laki dibanding perempuan. Belum diperoleh penelitian mengapa hal itu bisa terjadi. Waria dalam konteks psikologis temasuk sebagai penderita transeksualisme, yaitu seseorang yang secara jasmani jenis kelaminnya jelas dan sempurna. Namun secara psikis cenderung untuk menampilkan diri sebagi lawan jenis. Gejala ini jelas berbeda dengan homoseksualitas semata-mata untuk menunjuk kepada perilaku relasi seksual, bahwa seseorang merasa tertarik mencintai dengan jenis kelamin yang sama.
Indikasi terciptanya waria dalam penelitian yang pernah dilakukan oleh tim medis menyebutkan, faktor prenatal banyak diyakini bahwa kromosom dan hormon merupakan indikasi yang cukup penting dalam membentuk organ seksual seorang waria. Kemudian pada masa kanak-kanak, bagaimana penempatan dan cara dibesarkan seorang anak menjadi laki-laki atau perempuan sangat berpengaruh pada perkembangan identitas seseorang. Bersama itu pula proses bagaimana seseorang menerjemahkan seks pada dirinya.
Hidup sebagai waria dalam berbagai dimensinya terdapat tiga proses sosial yang mungkin terjadi, yakni pertama sosialisasi perilaku waria didalam konteks lingkungan sosial budaya. Sosialisasi ini sangat penting karena menyangkut satu tahapan agar seseorang dapat diterima dalam lingkungan sosial, karena waria tidak lepas dari konteks sosial. Kedua. Pandangan tentang realitas objektif yang dibentuk oleh perilaku mereka, melihat realitas objektif merupakan pemahaman untuk menjadikan perilaku individu sebagai suatu nilai yang diharapkan atau tidak diharapkan dalam lingkungan sosial. Ketiga, proses pemaknaan dan pemahaman sebagai waria. Proses ini menyangkut pertahanan identitas, dimana mereka berusaha mengkonstruksikan makna hidup “sebagai waria” atas pengalaman-pengalaman sebelumnya, yang tercipta dari proses sosial dan realitas objektif dunia waria.
Komunitas waria adalah minoritas dalam masyarakat, berasal dari kata wanita pria (shemale) karena pria tapi seperti wanita, merasa jiwa yang berada dalam tubuhnya adalah wanita, bahkan keseluruhan apa yang ada ditempatkan selayaknya seorang wanita. Berdandan, berpikir, perasaan, dan perilaku layaknya perempuan, yang membedakan adalah jenis alat kelamin yang dimiliki. Alat kelamin merupakan identitas ketika lahir, berbeda tapi fungsi tetap sama, untuk buang air kecil. Kehidupan dijalani seperti orang normal, kebutuhan biologis, aktifitas, dan bergaul dengan sesama atau orang bukan dari kelompoknya karena juga bagian masyarakat. Kini sudah mulai mengakui walaupun kadang masih dianggap tidak normal dan obyek ejekan lucu untuk ditonton bila berlebihan mengekpose diri dan terkesan aneh.
Pada realitasnya mereka disebut banci yang mengisyaratkan bahwa mereka adalah manusia yang tidak mempunyai kejelasan gender. Selain itu mereka lekat dengan citranya sebagai PSK (Penjaja Seks Komersial), walaupun tidak semua, namun label itu selalu menyertai. Bagi yang berpendidikan dan berketrampilan tentulah dapat bekerja layak, tapi bagi yang tidak berpendidikan pasti sangat sulit, satu-satunya hal termudah adalah menjadi PSK.
Selain realitas yang bersifat negatif, peneliti melihat sisi terang lain dari seorang waria yang sebagian masyarakat menganggap kehidupanya adalah sisi gelap saja. Tidak sedikit juga waria yang berkarir di berbagai bidang, seperti salon kecantikan, berdagang, penulis, pemateri dalam dialog-dialog yang bertemakan transeksual, sampai aktivis peduli HIV-AIDS. Walaupun begitu, tetap mereka masih belum bisa lepas dari kegiatan prostitusi tersebut. Suatu ketika peneliti diminta untuk melakukan VCT (tes darah) salah satu waria yang menjadi aktivis HIV-AIDS, dia berkata: “Aku lho mbak, udah diperkosa cowok 20 tahun lebih, tapi sampai sekarang tetap aman dari HIV-AIDS”.
Penerimaan sosial dalam lingkungan dimana waria menjadi bagian telah menjadi persoalan latent. Stereotipe-stereotipe yakni pemberian lebel pelacur pada waria menciptakan keterasingan secara sosial, baik oleh keluarga maupun lingkungan. Kondisi ini yang membuat mereka harus lari dari rumah dan lingkungannya. Dengan bekal keahlian yang minim, umumnya mereka kemudian menyatu dengan teman senasib, malacur, dan terbentuklah subkultur waria dengan berbagai atributnya; bahasa, tata nilai, gaya hidup, dan solidaritas. Posisi ini yang mengakibatkan kaum waria tidak memiliki bargaining position (posisi tawar-menawar) sosial, sehingga penerimaan sosial waria sangat terbatas pada kelompok masyarakat yang permisif dengan nilai-nilai pelacuran.
Selanjutnya adalah subordinasi yang dialami waria yaitu selalu direndahkan posisi atau status sosialnya seperti halnya peyempitan kesempatan kerja. Yang ketiga adalah marginalisasi yakni tidak diterima oleh keluarga jika ia mengaku atas keberadaan status gendernya dan dijauhi oleh sebagian masyarakat. Keempat, beban berlebihan yang diemban waria. Mereka tidak mempunyai kesempatan kerja yang luas, tapi disisi lain mereka harus tetap bertahan hidup, dengan dicaci sebagai pelacur, ironisnya kehadiran mereka selalu ditunggu-tunggu sebagai penghibur. Yang terakhir adalah kekerasan pada waria yang menyebabkan ketidaknyaman/ ketidakamanan baik secara fisik, psikis, maupun seksual. Dari semua hal itu akhirnya mereka selalu mempersepsikan diri sebagai orang yang diperlakukan secara tidak adil oleh lingkungan sekitarnya.
Ketika kita tengok balik dari kacamata budaya seperti halnya fenomena yang telah dipaparkan di atas, dengan adanya stigma gelap tentang kehidupan malam waria yang masih melekat disebagian benak warga Kota, sehingga ada kalanya keberadaan mereka ditolak oleh ruang sosial. Dan hal tersebut telah melengkapi bentuk-bentuk diskriminasi yang dialami oleh waria.
Salah satu aspek fenomonologis sosial yang terlihat jelas atas waria adalah munculnya tindak diskriminasi dari masyarakat, dalam hal ini “diskriminasi” adalah perlakuan yang tidak seimbang terhadap perorangan atau kelompok, berdasarkan sesuatu, biasanya bersifat kategorikal, atau atribut-atribut khas, seperti berdasarkan ras, kesukubangsaan, agama, atau keanggotaan kelas-kelas sosial. Istilah tersebut biasanya untuk melukiskan suatu tindakan dari pihak mayoritas yang dominan dalam hubungannya dengan minoritas yang lemah, sehingga dapat dikatakan bahwa perilaku mereka itu bersifat tidak bermoral dan tidak demokrasi.
Dalam arti tersebut, diskriminasi adalah bersifat aktif atau aspek yang dapat terlihat (overt) dari prasangka yang bersifat negatif (negatif prejudice) terhadap seorang individu atau suatu kelompok.
Pada kenyataannya, persoalan diskriminasi tidak hanya dialami oleh kelompok ras dan etnis saja. Masih banyak kelompok-kelompok di dalam masyarakat yang selama ini masih mengalami perlakuan-perlakuan ataupun tindakan-tindakan diskriminatif, baik dari Negara, dalam hal ini Pemerintah, maupun dari masyarakat sendiri. Contohnya adalah kelompok agama minoritas, kelompok penganut kepercayaan yang biasanya diturunkan dari nenek moyangnya, kelompok Lesbian, Gay, Bisexual, Transgender/Transsexual (LGBT), kelompok difable, dan kelompok masyarakat miskin. Bahkan sangat sering kita melihat segala bentuk diskriminasi tersebut menyebabkan terjadinya konflik horisontal, baik yang bersifat individual maupun yang bersifat massal.
Lalu pada kasus ini, mereka (para waria) dapat dikategorikan mengalami diskriminasi sosial, yang pada contohnya adalah stigmatisasi, cemoohan, pelecehan, dan pengucilan, tidak adanya kesempatan yang sama untuk mengenyam pendidikan formal, dan kekerasan fisik maupun psikis. Contohnya penolakan kepastian gender dari keluarga.
Di rumah aku gak berani dandan perempuan, ayahku bilang, “kon jo ngisin-ngisini keluarga. Arek lanang ojo koyok banci”. Sedangkan ibu dan kakak perempuanku selalu memukul punggungku jika aku terlihat seperti banci. Akhirnya sekarang aku mencari uang sendiri. Aku udah gak mau minta-minta lagi ke orang tua.
Perlu kiranya dicatat disini, bahwa dalam arti tertentu diskriminasi mengandung arti perlakuan tidak seimbang terhadap sekelompok orang, yang pada hakekatnya adalah sama dengan kelompok pelaku diskriminasi. Obyek diskriminasi tersebut sebenarnya memiliki beberapa kapasitas dan jasa yang sama, adalah bersifat universal. Demikianlah para waria di dalam jajaran masyarakat secara nyata didiskriminasikan (diperlakukan tak seimbang), berdasarkan perilakunya yang dianggap menyimpang, walaupun ia telah memiliki kemampuan yang sama, atau bahkan melebihi masyarakat lainya. Walaupun beberapa komunitas khayalan (utopian communities) telah mencoba untuk menghapuskan perbedaan-perbedaan semacam itu, dalam kedudukan kemanusiaan, seringkali berdasarkan keyakinan bahwa semua orang beragama adalah sama di mata Tuhan.
Dari semua perlakuan sosial yang sudah menjadi rahasia umum, maka timbul suatu prasangka-prasangka yang besifat negatif yang berupa persepsi diskriminasi oleh waria yang akhirnya berdampak negatif pada waria secara fisik, psikis, ekonomi, dan sosial/budaya. Diantaranya seperti pada penelitian sebelumnya yang menyebutkan bahwa waria mempunyai konsep diri yang rendah karena prasangka negatif oleh perlakuan sosial terhadapnya. Dampak secara ekonomi yaitu mereka lebih kesulitan dalam pemenuhan materinya karena kesulitan mencari kerja. Sedangkan dampak secara fisik, mereka sekuat tenaga memeras keringat demi mempertahankan hidupnya karena hanya dengan melacur satu-satunya cara mencari uang yang mereka bisa. Dan terakhir secara sosial budaya, mereka merasa sebagai makhluk yang terasingkan.
Konflik-konflik di atas menyebabkan dunia waria semakin terisolasi dari lingkungan sosial, sementara waria dituntut harus tetap mampu survive dalam lingkungan yang mengisolasikan dirinya itu. Dengan sendirinya konflik-konflik itu pulalah yang pada giliranya menjadi realitas obyektif kehadiran waria. Sebutan banci, waria, atau wadham menjadi bukti bahwa fenomena itu sudah dibentuk oleh tatanan objek-objek yang sudah diberi nama sebagai objek-objek sejak sebelum seseorang sendiri itu hadir.
Dari konflik itu pula, yang mereka harus hadapi adalah yang berkaitan dengan sosio cultural, budaya dan masyarakat pada umumnya. Dalam berbagai aktifitasnya, tetap kekurangan dan ketidaknormalan-nya yang terlihat. Sedangkan aktifitas lain yang sebenarnya juga sangat membantu masyarakat, tetap saja dipandang sebelah mata secara subjektif.
Meskipun dalam keadaan terjepit oleh suatu pilihan, mereka dituntut harus tetap survive dalam menjalani kesemuanya tersebut.
“Berulang kali saya katakan pada banyak orang bahwa saya mungkin adalah waria yang teramat bahagia dan mensyukuri apa yang saya miliki sekarang. Apa yang saya miliki? Tentunya hidup ini. Dengan kehidupan “wanita” ini saya justru jadi bisa memaknai hidup. Memaknai bahwa sebenarnya betapa besar kasih Tuhan melimpahi hidup saya.”
Hal ini merupakan contoh-contoh dari peristiwa-peristiwa nyata yang bermakna secara pribadi bagi seorang Waria.
Menurut Frankl dalam Koeswara, tidaklah masuk akal mengkonfrontasikan individu kepada makna yang semata-mata merupakan ungkapan diri. Itu tidak lebih dari mendorong individu kepada tidak menemukan apapun didalam nilai-nilai kecuali mekanisme pertahanan, formasi reaksi atau rasionalisasi berbagai dorongan nalurinya sebagaimana diasumsikan oleh para psikoanalisis. Reaksi Frankl sendiri terhadap asumsi tersebut adalah bahwa ia tidak hidup demi mekanisme pertahanan, juga tidak bersedia mati demi formasi-formasi reaksi.
Frankl menawarkan tiga pendekatan dalam membantu menemukan makna hidup. Pertama. Melalui nilai-nilai pengalaman, yakni dengan cara memperoleh pengalaman tentang sesuatu atau seseorang yang bernilai bagi kita. Yang menurut Maslow kebermaknaan adalah pengalaman dahsyat atau pengalaman estetis. Pendekatan kedua adalah melalui nilai-nilai kreativ, yaitu dengan “bertindak.”. Frankl menganggap kreativitas (seperti halnya cinta) sebagai salah satu fungsi alam sadar spiritual, yakni hati nurani. Adapun pendekatan ketiga yaitu nilai-nilai attitudinal yang mencakup kebaikan seperti penyayang, keberanian, selera humor yang baik, dan sebagainya.
Sifat lain dari makna hidup adalah spesifik dan nyata, dalam artian makna hidup benar-benar dapat ditemukan dalam pengalaman dan kehidupan sehari-hari, serta tidak perlu dikaitkan dengan hal-hal yang serba abstrak filosofis, tujuan-tujuan idealistis, dan prestasi-prestasi akademis yang serba menakjubkan.
Sebagai sebuah kepribadian, kehadiran seorang waria merupakan suatu proses yang panjang, baik secara individual maupun sosial. Secara individu antara lain, lahirnya perilaku waria tidak lepas dari satu proses atau dorongan yang kuat dari dalam dirinya, bahwa fisik mereka tidak sesuai dengan kondisi psikis. Hal ini menimbulkan konflik psikologis dalam dirinya. Mereka mempresentasikan perilaku yang jauh berbeda dengan laki-laki normal, tapi bukan sebagai perempuan yang normal pula. Permasalahanya tidak sekedar menyangkut masalah moral dan perilaku yang dianggap tidak wajar, namun merupakan dorongan seksual yang sudah menetap dan memerlukan penyaluran. Namun demikian berbagai dorongan seksual waria belum sepenuhnya dapat diterima oleh masyarakat. Secara normatif, tidak ada kelamin ketiga diantara laki-laki dan perempuan.
Menurut ajaran logoterapi, bahwa kehidupan itu memiliki makna dalam keadaan apapun dan bagaimanapun, termasuk dalam penderitaaan sekalipun, hasrat hidup bermakna merupakan motivasi utama dalam kehidupan ini. Manusia memiliki kebebasan dalam upaya menemukan makna hidup, yakni melalui karya-karya yang diciptakannya, hal-hal yang dialami dan dihayati termasuk cinta kasih, atau dalam setiap sikap yang diambil terhadap keadaan dan penderitaan yang tidak mungkin terelakkan. Manusia dihadapkan dan diorientasikan kembali kepada makna, tujuan dan kewajiban hidupnya. Kehidupan tidak selalu memberikan kesenangan, tetapi senantiasa menawarkan makna yang harus dijawab. Tujuan hidup bukanlah untuk mencapai keseimbangan tanpa tegangan, melainkan sering dalam kondisi tegangan antara apa yang dihayati saat ini dengan prospek di masa depan.
Selanjutnya sifat lainnya adalah memberi pedoman dan arah terhadap kegiatan-kegiatan kita, sehingga makna hidup itu seakan-akan “menantang” kita untuk memenuhinya. Demikianlah makna hidup dengan sifat-sifatnya yang unik, spesifik dan temporer serta fungsinya sebagai pedoman dan pengarah kegiatan-kegiatan kita, hal ini juga seperti pemahaman makna hidup yang disampaiakan oleh Viru Devana, berikut:
“Habluminannaas itu juga penting. Jadi saya memberikan yang terbaik pada sesama manusia yang membutuhkan saya. Saya menjadi penghibur juga merupakan nilai plus untuk manusia lain. Kerena saya bisa membahagiakan orang lain dengan cara yang bermacam-macam.”

Mengingat keunikan dan kekhususannya itu, makna hidup tidak dapat diberikan oleh siapa pun, melainkan harus dicari, diselami dan ditemukan sendiri. Orang-orang hanya dapat menunjukkan hal-hal yang mungkin berarti, akan tetapi pada akhirnya kembali pada orang yang ditunjukkan untuk menentukan apa yang dianggap dan dirasakan bermakna bagi hidupnya.
Pandangan dunia waria yang identik dengan dunia prostitusi dan transeksual menjadi satu konteks yang sangat urgent. Pandangan demikian ini kemudian melahirkan suatu interpretasi, bahwa tradisi prostitusi akan selalu diikuti secara integral oleh perilaku-perilaku abnormal lainnya, seperti kriminalitas dan penyakit sosial lain. Hal tersebutlah yang memicu munculnya tindak diskriminasi sosial dalam betuk; dikucilkan, dicemooh, diprotes dan ditekan dengan aturan-aturan yang ketat oleh lingkungan.
Ketika dunia waria menjadi salah satu dunia yang tersisih dari tradisi dan nilai-nilai yang berlaku di dalam masyarakat, lalu menurut Frankl bahwa makna hidup bisa ditemukan dalam sebuah penderitaan ataupun keadaan tertekan. Maka dari tekanan-tekanan ruang sosial masyarakat yang muncul lebih kompleks dibandingkan dengan tekanan yang ada di dalam keluarga, yang semua terurai di atas, dari konteks latar belakang tersebut maka peneliti merasa tertarik dan perlu untuk melakukan penelitian yang berkaitan dengan : “Hubungan persepsi Diskriminasi waria dengan Kebermaknaan Hidup Kaum Waria di Iwama (Ikatan Waria Kota Malang)”
B. Rumusan Masalah Penelitian
Mengacu pada latar belakang masalah tersebut di atas, maka dalam hal ini dapat dirumuskan dalam rumusan masalah penelitian yang menyangkut ruang lingkup riset yang akan dilakukan, adapun rumusan masalah tersebut adalah sebagai berikut:
Bagaimana persepsi tingkat diskriminasi yang dialami kaum waria IWAMA?
Bagaimana tingkat kebermaknaan hidup kaum waria di IWAMA?
Adakah hubungan persepsi diskriminasi dengan kebermaknaan hidup kaum waria di IWAMA?
C. Tujuan Penelitian
Berdasarkan pada fokus penelitian di atas maka penelitian ini memiliki tujuan-tujuan sebagai berikut :
1. Untuk mengetahui persepsi tingkat diskriminasi kaum waria IWAMA?
2. Untuk mengetahui kebermaknaan hidup kaum waria IWAMA?
3. Untuk mengetahui adanya hubungan diskriminasi dengan kebermaknaan hidup kaum waria di IWAMA?
D. Kegunaan Penelitian
1. Kegunaan Secara Teoritis
Hasil dari penelitian ini secara teoritis dapat dijadikan sebagai input positif untuk pengembangan study psikologi, Khususnya yang berkaitan tentang aspek kebermaknaan hidup.

2. Kegunaan Secara Praktis
Hasil Penelitian ini diharapkan dapat menjadi salah satu pertimbangan bagi para praktisi di bidang kesehatan mental (psikologi dan psikiater) di dalam menangani klien waria. Dan juga diharapkan dapat memberikan pemahaman pada masyarakat mengenai waria, khususnya yang berkaitan dengan pengaruh persepsi diskriminasi terhadap kebermaknaan hidup waria.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar